dari presentasi Estetika Banal & Spiritualisme Kritis: Dialog Fotografi dan Sastra dalam 13 Keping, oleh Erik Prasetya dan Ayu Utami, Galeri Salihara, 31 Januari 2015

Estetika Banal & Spiritualisme Kritis

for English, see article below

 

2

Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi; bumi belum berbentuk serta kosong; gelap gulita menutupi samudra raya dan Roh Allah melayang-layang di atas raut air...
...lalu ada kabut naik ke atas dari bumi dan membasahi seluruh permukaan tanah; ketika itulah Tuhan Allah membentuk manusia dari debu dan menghembuskan nafas ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup. 
(Kejadian 1:1 & 2:6-7)

 

Setiap penulis akan diam-diam bertanya: apakah yang membuat sebuah karya sastra jadi abadi?

Ada dua kisah yang begitu menghantui saya, tersimpan dalam kitab-kitab purba, Kejadian dan Ramayana. Dua cerita itu tentang lelaki dan perempuan: Adam-Hawa dan Rama-Sita. Seperti hantu, mereka membangkitkan rasa-rasa aneh. Rasa-rasa yang saling menentang. Keindahan dan kengerian; ketakjuban dan kemarahan; kebenaran, tapi juga rasa ketidakadilan. Dan yang paling mendebarkan: sesuatu tentang seks dan kekerasan dalam remang cahaya ilahi. Mereka adalah kisah yang bentuk paling sederhananya saya serap sejak usia dini. Mereka menjelma hantu, sebab menghadirkan yang syur dan yang tak berbelas kasih sekaligus. Sebagaimana hantu, itu sungguh menyimpang dan mengganggu.

Pada awalnya seorang anak yang membaca Ramayana akan menerimanya sebagai perjalanan petualangan sepasang kekasih di hutan penuh bahaya. Rama dan Sita menjalani pembuangan di hutan Dandaka; Laksmana, adik Rama, menemani mereka. Cerita itu memenuhi segala syarat untuk memikat: lelaki tampan dan perempuan cantik, orang ketiga, belantara, kijang emas, pasukan kera, musuh, dan para raksasa. Ketegangannya meningkat menuju puncak: godaan, jebakan, penculikan, perang, pembebasan—sebuah struktur yang memenuhi pakem film Hollywood... sampai tiba adegan pembakaran Sita. Di situlah kengerian menyalip kepada klimaks. Oleh suaminya sendiri, Sita dituntut untuk membuktikan kesucian dengan melompat ke dalam api menyala-nyala. Adakah permintaan kekasih yang lebih kejam daripada itu? Sungguh aneh bahwa Ramayana bisa terus membangkitkan ideal tentang cinta.

Kisah Adam dan Hawa tidak menawarkan klimaks yang sekeji Ramayana, tapi menyodorkan dilema sesulit buah terlarang. Kitab Kejadian 2 ini juga memenuhi syarat visual yang memukau: hutan dan sungai perawan, hewan-hewan, taman, pohon kehidupan, pohon pengetahuan, dan dua manusia telanjang, lelaki dan perempuan, serta bahaya yang mengintai. Ia tak pernah merupakan kisah cinta sejak awalnya. Ia lebih mirip cerita yang merangkum motif kekuasaan, seks, dan pengkhianatan. Kita tahu: Hawa—yang dibentuk dari tulang rusuk Adam—mendengarkan ular itu dan memetik buah Pohon Pengetahuan yang terlarang. Ia memberikannya pada Adam, dan mereka sama-sama memakannya. Setelah itu keduanya jadi tahu apa artinya telanjang. Dan Tuhan mengutuk serta mengusir mereka keluar dari Taman Eden, ke dunia penuh penderitaan.

Kedua kisah itu, Adam-Hawa dan Rama-Sita, menyalahi moral dan rasa keadilan setelah ditemukannya hak asasi manusia dan rasionalisme. Tapi satu hal yang tak bisa disangkal: keduanya memikat. Mereka berhasil menyihir manusia sedikitnya selama tiga ribu tahun dan tetap memikat hingga sekarang. Mereka terus dikenang dan dibaca ulang. Mereka dipecah-pecah dan disusun kembali, tak mati-mati. Mereka tak berhenti menjadi inspirasi. Ada momen-momen saya marah dan benci kedua cerita itu. Apalagi sebagai perempuan. Toh saya tetap membaca mereka dan tetap terpikat. Dan saya menyadari, saya berhadapan dengan dua kisah purba yang telah membuktikan reputasinya sebagai karya sastra abadi. Pertanyaannya: apakah keindahan itu sehingga kita lupa pada ketidakadilan?

 


Baiklah kita tunda dulu pertanyaan tentang keindahan. Saya ingin kembali kepada kisah yang pelik, yaitu tentang “dosa” pertama manusia: memakan buah terlarang. 
Orang di Indonesia cenderung lupa, atau tidak tahu, bahwa buah terlarang itu adalah buah Pohon Pengetahuan. Jika saya tidak membaca sendiri Alkitab, jika saya hanya mendengarkan guru agama, saya tak akan menyadarinya:

Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya... 
(Kejadian 2: 16-17)

Meskipun pada awalnya para agamawan biasanya menafsirkan pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu berkenaan dengan moral, beberapa ahli studi biblikal menganggap ungkapan “tentang yang baik dan yang jahat” sebagai idiom yang berarti tentang segala macam. Bukan hanya dalam makna moral. Saya mengambil makna yang lebih luas itu. Dan justru di bagian ini pula kisah Adam-Hawa menghantui saya, bukan hanya sebagai perempuan tapi sebagai manusia. Mengapa manusia tidak boleh makan buah pohon pengetahuan? Mengapa mengetahui adalah “dosa” pertama manusia? Bagaimana mempertanggungjawabkan teks semacam itu di hadapan akal sehat, yang sangat menjunjung ilmu pengetahuan?
Tapi, sebagaimana hantu, keganjilannya sekaligus merupakan daya pikatnya.

Ketakterjamahannya adalah sihirnya. Ah, tentu saja kisah penciptaan memikat bawah-sadar kita sebab ia bercerita tentang sepasang pria dan wanita yang bugil di tengah hutan (dan kita langsung membayangkan bahwa keduanya rupawan, lalu terjadilah hal-hal yang kita inginkan). Ia juga memikat karena mengandung jawaban tentang asal-usul kita, yang masih misterius hingga kini. Setelah teks itu mengail hasrat erotis dan rasa ingin tahu kita yang paling dalam, kita dihadapkan pada persoalan. Yang bukan feminis pun, asal punya akal cukup sehat, akan mengerenyit: sungguh aneh, mengapa tak boleh kita makan buah pengetahuan?

Tapi, itu pun bukan satu-satunya teka-teki pelik dalam Alkitab. Akal sehat yang jujur juga akan sangat sulit memahami kisah berikutnya: Menara Babel, yang termuat dalam Kitab Kejadian pula. Diceritakan, dunia suatu hari telah mempunyai satu bahasa dan satu logat. Masyarakat yang telah berbahasa satu itu pun hendak mendirikan menara yang puncaknya sampai ke langit, agar mereka bisa mencari nama sendiri supaya tidak tercerai-berai ke seluruh dunia. Tapi, Tuhan turun dan mengacaukan rencana itu. Padahal, apa jeleknya rencana itu—apalagi dari kacamata pengalaman Sumpah Pemuda dan perjuangan NKRI? Dan, ya Tuhan, inilah yang dikatakan Tuhan:

“Baiklah Kita turun dan mengacaubalaukan di sana bahasa mereka, sehingga mereka tidak mengerti lagi bahasa masing-masing.”
(Kejadian 10: 7)

Bagian awal Kitab Kejadian barangkali memuat paling banyak dongeng aneh. Dongeng-dongeng itu demikian ganjil sehingga, jika kita membacanya dengan cara berpikir modern, kita akan menemukan Tuhan yang absurd, pencemburu, dan penuh rasa tidak aman. Ada kalanya juga sih Dia baik, tapi itu tak mengurangi insecurity beliau. Tuhan tampaknya tidak ingin manusia jadi seperti Dia, tahu segala macam dan bersatu dalam bahasa. Tapi, aneh sekali, Tuhan macam apakah itu?

Toh cerita itu tak bisa saya campakkan begitu saja. Sebagian dari alasan saya tidak bisa membuangnya adalah karena kisah-kisah itu telah membikin jalinan dengan teks-teks lain, tak hanya di dalam Alkitab tetapi juga di luarnya. Apa yang bisa dinamakan intertekstualitas. Ia menginspirasi sastra, filsafat, teologi, seni rupa, fotografi, sampai hari ini. Para pakar studi kitab suci juga menunjukkan bahwa dongeng-dongeng itu berhubungan dengan mitos-mitos sezamannya—hanya saja, mitos Mesir, Sumeria, Babilonia kuno dll itu ditinggalkan sedangkan Kitab Kejadian terpelihara sampai hari ini.

Inilah yang menakjubkan dalam karya sastra yang abadi, seperti Kitab Kejadian, meski ia menyodorkan moral yang tampak tak masuk akal: 1) Pendukungnya memeliharanya terus sekalipun tidak begitu faham maknanya; 2) Pendukungnya terus-menerus mencoba memahami maknanya dengan membuat tafsir masing-masing; 3) Kisah-kisah itu menyapa pertanyaan-pertanyaan besar dan mendasar yang menggelisahkan manusia: Bagaimana terjadinya dunia? Mengapa ada penderitaan? Mengapa begitu sakit perempuan melahirkan (tak seperti umumnya hewan)? Mengapa ada yang tak wajar pada seks dan ketelanjangan? Mengapa manusia tidak berbahasa satu saja? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak juga terjawab tuntas oleh ilmu maupun filsafat sampai sekarang. 4) Kisah-kisah itu bisa dimaknai secara berbeda, bisa dibaca dalam relasi internal maupun eksternal, sinkronis maupun diakronis. Dan, 5) ada kekuatan yang memungkinkan semua itu terjadi.

Yang saya maksud bukanlah kekuatan supranatural, melainkan “sihir seni”. Di luar kapasitas sayalah bicara tentang kekuasaan Tuhan sehingga kitab itu menjadi Kitab Suci. Kita bisa mencoba memahami kekuatan estetik pada suatu karya seni yang bertahan hidup ribuan tahun.

Di sini, saya ingin menggarisbawahi dua perkara besar dalam dua teka-teki sulit itu: pengetahuan dan bahasa. Kejadian 2, kisah Adam dan Hawa, bicara mengenai problem pengetahuan. Kejadian 10, kisah Menara Babel, bicara mengenai problem bahasa. Katakanlah mereka datang dari seribu tahun sebelum masehi. Kelak, hampir tiga ribu tahun kemudian orang tahu bahwa problem pengetahuan adalah problem bahasa juga.

 


Fotografi menggunakan kamera. Sastra menggunakan bahasa. Dengan alat-alat itu, keduanya mencoba mengetahui.
Kita melihat kamera dan pirantinya sebagai teknologi. Tetapi bahasa juga teknologi. Saya ingin mengatakan bahwa problem yang terjadi pada fotografi juga terjadi pada sastra, meski tidak sama atau sebangun. Fotografi membantu kita melihat secara konkrit mekanisme yang abstrak dan internal dalam bahasa. Bahasa adalah teknologi dalam arti ia memberi manusia teknik dan kemampuan memindahkan pengalaman dan memori individual-subyektif ke dalam deposit kolektif sehingga menjadi khazanah yang bisa dipertukarkan, dikembangkan, dan dimanfaatkan bersama. Hebatnya, mekanismenya bukanlah apapun selain simbol-simbol.

Dengan memecah-mecah aliran pengalaman ke dalam satuan-satuan semiotik yang relatif bisa distabilkan—apa yang kemudian dikenal sebagai fonem, morfem atau kata, kalimat, bait, dengan segala prosodi dan ritme agar memudahkan pengingatan—dan menyusunnya ke dalam sistem tanda yang kompleks, manusia bisa, tak hanya mengekspresikan dorongan, tetapi juga menyimpan data bersama di “dunia maya”. Sebelum ada aksara, “dunia maya” itu adalah ingatan bersama yang dipelihara lewat puisi dan cerita yang didaraskan terus-menerus. (Ramayana dan dongeng-dongeng Kitab Kejadian pada mulanya adalah tradisi lisan juga.) Dengan adanya aksara, deposit itu disimpan secara fisik pada prasasti, lontar, papirus, perkamen, kitab gulungan, kodeks, buku, dan akhirnya—di masa ini—secara digital.

Sastra dan fotografi sama-sama memecah-mecah aliran realita ke dalam unit-unit yang bisa disimpan. Dengan cara demikian, unit itu bisa dikuasai, dipergunakan, disusun ulang, dikembangkan. Memang sastra tidak punya problem etis yang ada dalam fotografi. Karena bahasa tak pernah betul-betul menyalin realita. Tapi persis di situlah problem utama bahasa. Ia tak pernah betul-betul menemui realita. Ia adalah sepenuhnya sistem tanda, yang tak pernah bersentuhan langsung dengan kenyataan. Fotografi mencuri, menjiplak, menyalin realita. Bahasa membangun model sendiri tentang realita, tanpa persentuhan dengan realita. Para linguis era modern telah lama memetakan bahwa tak ada kontak langsung antara kata dengan referensnya. Apapun yang diketahui melalui bahasa adalah palsu belaka. KW dari suatu ORI yang tak terjangkau.

Pada saat yang sama, bahasa adalah satu-satunya teknik dan modus bagi rasio kita. Bahasa adalah satu-satunya cara akal kita mengetahui yang bisa dikomunikasikan. Para filsuf abad ke-20 kemudian, dalam kritik terhadap modernitas, mengatakan bahwa rasio bekerja justru dengan cara memisahkan subyek yang mengetahui dari obyek yang diketahui.

Pemisahan subyek dari obyek yang dilakukan rasio ini barangkali bisa membawa kita pada masalah yang dihadapi sang fotografer yang sadar pada problem etis fotografi. Fotografi bekerja dengan cara menjadikan dunia sebagai obyeknya. Cara kerja rasio dan bahasa yang memilah-milah aliran kenyataan ke dalam unit-unit yang bisa disimpan, disusun, dimanfaatkan juga mengingatkan kita pada fotografi yang membekukan momen ke dalam unit gambar yang bisa dikuasai untuk waktu yang lebih panjang, jika bukan seumur hidup. Pada semua mekanisme ini ada sejenis kekerasan. Bahasa, rasio, maupun fotografi mengandung kekerasan. Tapi, kesedihannya adalah ini: itu tak terelakkan. Tak ada jalan kembali ke firdaus. Kerubim berjaga dengan pedang api yang ia ayun-ayunkan, di satu-satunya gerbang keTaman Eden.

Izinkan saya sedikit menakjubi dan mencoba memahami suatu model narasi yang purba. Dalam narasi purba, subyek dan obyek sering tak mudah dipisahkan, jika sama sekali tak bisa. Bentuknya dalam kalimat misalnya: sulit dibedakannya deskripsi dan preskripsi (pemerian dan aturan), sulit dibedakannya penyebab dan akibat. Bentuk contoh kedua itu adalah: kerancuan dan ambiguitas yang kerap dalam penggunaan kata sambung kausalitas “sebab”, “sehingga”, “maka”, “agar”, dsb. Di kesempatan yang pendek ini, perhatikanlah kata “sehingga” dan “agar”. Kata “sehingga” tidak mengandung tujuan dari suatu tindakan (atau tidak secara spesifik mengandung tujuan), tetapi kata “agar” menunjukkan kausalitas yang mengandung tujuan. Bandingkan dua kalimat buatan yang mungkin ini:

Sesosok malaikat menjaga gerbang dengan pedang api sehingga manusia tidak bisa kembali ke Taman Eden.
Sesosok malaikat menjaga gerbang dengan pedang api agar manusia tidak bisa kembali ke Taman Eden.

Ambiguitas semacam itu bisa mengambil bentuk yang lebih tinggi dari kata. Ia bisa berkembang pada level wacana, fantasi, dan personifikasi. Kita bisa, misalnya, mengambil personifikasi karakter Tuhan dalam teks Kisah Penciptaan maupun Menara Babel sebagai studi kasus. Tentang siapa subyek yang tersembunyi dalam suatu teks merupakan ketertarikan saya, baik dalam teks lama maupun percakapan dan tulisan masa kini.

Sebetulnya cerita di bagian ini bisa panjang, tapi saya hendak menyingkatnya demi waktu. Kitab Kejadian 2 bercerita tentang problem pengetahuan, dalam model narasi yang mitologis dan sangat purba. Pengetahuanlah yang membuat manusia terpisah dari keutuhan yang murni dan lugu. Setelah makan buah Pohon Pengetahuan, manusia pun terusir dari Taman Eden. Kisah Menara Babel (Kejadian 10) bercerita tentang problem bahasa. Memang personifikasi karakter Tuhan dalam cerita itu sungguh menjengkelkan, tapi kisah itu bercerita tentang mustahilnya manusia untuk tidak salah faham. Umat manusia akan selalu gagal menyatukan bahasa. (Untunglah, bunyi butir ketiga Sumpah Pemuda kita adalah “menjunjung tinggi Bahasa Persatuan”, bukan “berbahasa satu”.) Dalam sejarah, setiap kali suatu bahasa menjulang atau meluas dan menjadi global, setiap kali pula bahasa itu mengalami perpecahan dialek.

Pada periode ini saya membaca Alkitab sebagai kitab sastra. Dia adalah buku sastra yang sangat menarik. Siapapun penulisnya—penulisnya ada ratusan, atau bahkan ribuan orang jika kita menghitung mereka yang menyalin dalam rentang seribu atau dua ribu tahun—kitab itu mengawali diri dengan peringatan. Kau tahu seluruh kitab ini menggunakan bahasa—seperti seluruh ilmu pengetahuan kita. Nah, sekarang ingatlah. Peringatan pertama: ada problem pengetahuan. Peringatan kedua, ada problem bahasa. Jadi, apapun yang bisa diketahui dalam kitab ini, ada problem laten di sana. Jika kita menarik ke luar kitab, rumusan yang sama berlaku umum: apapun yang bisa kita ketahui melalui rasio dan bahasa, ada problem di sana.

Saya mendapatkan dari Alkitab model kesusastraan dasar saya. Bukan model yang buruk, terutama karena kitab itu sejak buku pertamanya sudah mengandung peringatan akan problem pengetahuan dan bahasa, hal yang saya ingin garis bawahi di kesempatan ini. Pergumulan saya dengan membaca, menulis, dan berbahasa membawa saya pada pengertian tentang betapa ringkih dan labil sesungguhnya bahasa sebagai basis pengetahuan kita.

Jika dalam Estetika Banal, si fotografer mencari pendekatan yang membuat ia tetap ingat pada problem fotografi, saya mengambil nama Spiritualisme Kritis, untuk model penulisan—juga model proses menulis, bahkan model bersikap yang lebih umum—yang sadar akan ringkihnya bahasa tapi tak berhenti mengusahakan makna. Mengapa bahasa berkorelasi dengan spiritualitas? Bahasa berkorelasi dengan spiritualitas dan religiositas dalam hal bahasa sesungguhnya bergantung pada “iman”, yaitu kepercayaan dan penerimaan, atas konsep-konsepnya sendiri agar bahasa bisa berfungsi. Kita hanya bisa bicara jika kita percaya bahwa kata “manusia” memang berarti manusia dan bukan yang lainnya; padahal tak ada hubungan substansial maupun esensial antara kata “manusia” dan konsep yang dirujuknya. Kita hanya bisa bicara jika kita sama-sama percaya bahwa kata “ya” berarti ya dan “tidak” berarti tidak. Tanpa iman akan kata-kata, tanpa kesetiaan akan gramatika, kita tak bisa berbahasa. Seorang skeptis yang sejati adalah orang bisu, sebab ia tak mempercayai satu katapun. Maka, dasar dari pengetahuan kita sesungguhnya adalah sejenis iman juga. (Betapa rentan sebenarnya.) Kita melihat struktur yang sama dalam agama dan bahasa. Dan dalam menghadapi struktur demikian dibutuhkan sikap spiritualis kritis, yang mungkin akan menjadi lebih jelas dalam keping berikut tulisan ini.

 


Mengamati dan menggunakan bahasa, saya sadar bahwa persoalan mendasar berikutnya adalah perebutan makna. Bagaimana kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian ditafsir, ditolak, ditafsir ulang menunjukan itu. Jika kita membaca risalah para linguis, kita tahu betapa rentan sesungguhnya basis makna. Seperti kata Saussure, bahasa bersifat semena (arbitrer) dan berdasarkan konvensi. Maka, mau tidak mau kita memasuki wilayah politik. Memang orang bisa berpolitik dengan kesadaran atau tidak. Setiap pengguna bahasa berperan dalam melanjutkan atau memudarkan suatu perjanjian. Perjanjian itu boleh mengenai bunyi, kata, struktur, maupun wacana. Setiap kali kita memilih suatu kata, ungkapan, cara, atau cerita, kita—sadar atau tidak—berpolitik. Kita bisa melihat politik berbahasa itu, misalnya di level kata, dalam penggunaan dan subsitusi kata-kata berikut: wanita-perempuan, WTS-PSK, cina-china, jilbab-hijab, teroris-mujahid, dll. Politik bahasa di level kosakata biasanya berhubungan langsung dengan isi ideologi.

Perebutan kebenaran juga bisa terjadi di tingkat gramatika. Di level ini umumnya pilihan bukan dipengaruhi isi ideologi, melainkan sikap mengenai aturan. Di sinilah terdapat sikap tak peduli di satu ekstrem dan dogmatis di ekstrem lain. Kita menemukan model perdebatan antara mempunyai-memunyai, mempesona-memesona, emosi-emosional, merubah-mengubah, pemerkosaan-perkosaan, Sumatra-Sumatera. Para linguis dan pengguna bahasa mencari mana hukum yang paling benar.

Kembali kita melihat analogi sikap berbahasa dan sikap beragama. Orang bisa memelihara prasangka dalam berbahasa, seperti juga dalam beragama. Orang bisa bersikap dogmatis dalam beragama, seperti juga dalam berbahasa. Sebetulnya penjelasan mengenai ini pun bisa panjang lebar, tetapi saya memotongnya demi waktu, dan melaju pada penyimpulan.

Ada beberapa ciri sikap dogmatis, yang berlaku pada agama maupun bahasa. Dogma lebih suka pada hukum ketimbang inspirasi ataupun riset. Riset makan waktu, sedangkan bagi dogma waktu tidak ada sebab dogma berada di luar waktu. Jika rumusan dogma berbentuk hukum, maka manusia tinggal mematuhinya. Ini berlaku pada agama dan bahasa.
Contoh pada bahasa: Orang sekarang sering percaya bahwa kita tinggal mematuhi aturan-aturan dalam bahasa. Dalam bahasa ada aturan untuk kalimat maupun untuk kata. Perihal kata ada pembagian kata benda, kata kerja, kata sifat, kata keterangan, kata sambung, dll. Kita hanya perlu mematuhi aturan-aturan yang telah diperinci. Sesungguhnya sikap itu ironis. Kalau kita belajar sejarah linguistik, aturan-aturan itu datang belakangan, disadari dan dirumuskan begitu bertahap (ratusan tahun!), dan sepanjang itu manusia toh tetap bisa berkomunikasi tanpa tahu sedikitpun gramatika. Odyseus dianggit sebelum Aristoteles lahir atau menuliskan karya mengenai logika dan retorika. Puisi dan prosa tidak ditulis setelah risalah gramatika. Risalah gramatika justru lahir sebagai pemerian terhadap praktik yang terjadi secara alamiah. Jika aturan itu bagus, ia akan membantu orang mencapai pemahaman yang lebih tinggi atau lebih kompleks. Yang sekarang terjadi di kalangan editor dan penjaga bahasa bisa sebaliknya: yang kompleks direduksi dalam hukum-hukum yang simplistis. (Tapi, di sini, menariknya, kita terjebak lagi pada kelekatan deskripsi dan preskripsi—yang khas pada model narasi purba.)

Dalam dogmatisme, makna sudah ada di dunia ide, tinggal diterapkan. Dalam dogmatisme, makna bukan dipergulatkan dalam kenyataan dan pengalaman manusia.

 

10 
Dalam sebuah percakapan sambil menyetir mobil, persisnya di depan rumah wakil presiden Jalan Diponegoro, saya pernah merumuskan foto-foto Erik sebagai: menangkap makna sebelum konvensi. Ah, mirip itu juga yang dilakukan puisi. Atau musik kontemporer. Makna-makna sebetulnya telah ada sebelum konvensi atau pembakuan. Atau, dalam rumusan yang kurang spekulatif: makna-makna bisa ada di luar konvensi atau pembakuan. Karya seni bisa menghadirkannya. Tentu saja “makna sebelum konvensi” ini tak selalu mudah difahami. Ia tak selalu jelas, sering tak stabil atau ambigu, tak memberi arahan hidup.

Perkenankanlah saya sekali lagi mengambil lompatan cepat, sebab tak ada waktu untuk menjelaskan semuanya.
Kegagalan orang berkomunikasi dengan puisi sering kali adalah kegagalan orang berkomunikasi dengan “roh”. Yang saya maksud “roh” bukanlah yang biasa dibayangkan anak-anak ketika membaca kitab suci tentang roh kudus dan roh jahat, atau yang kita bayangkan saat mendengar cerita hantu. Yang saya maksud adalah sesuatu yang tak bisa cukup dikenali batas-batasnya, baik secara obyektif maupun intersubyektif. Apa yang tidak dikenali batas-batasnya ini juga tidak bisa dikenai proses logis. Ia tidak bisa dipakai untuk menarik silogisme, inferensi, induksi, deduksi, dll, sebab ia tidak memenuhi syarat sebagai term. 
Kita tahu, agar logika bisa bekerja, diperlukan term-term. Syarat term adalah jelas batasnya. Proses atau mekanisme logis tidak bisa bekerja pada term-term yang tidak tertutup, bermakna ganda atau ambigu. Nah, di sinilah kekerasan pertama terjadi. (Apa yang dimaksud di awal, di bagian 6, bahwa bahasa dan rasio mengandung sejenis kekerasan.) Demi bisa bekerja, rasio memaksakan pembatasan. Paksaan ini diberlakukan dengan konvensi.

Pembatasan artinya menyingkirkan “yang lain”, “yang bukan”, dan yang bukan ini menjadi sesuatu di luar konvensi. Mekanisme-mekanisme kekerasan ini sudah demikian niscaya sehingga kita tak menganggapnya sebagai kekerasan lagi. Kita menuntut kejelasan kebenaran. Kaum rasionalis menuntut bahwa segala hal harus bisa dijelaskan. Kaum agawaman mengatakan bahwa segala hal sudah dijelaskan oleh kitab suci. Kedua kubu itu sama dalam hal kekerasan dasar.

Seni (bisa) mengingatkan kita kembali pada “makna sebelum konvensi”. Di sini saya ingin menyebutnya sebagai spirit atau roh. Istilah Spiritualisme Kritis bisa dimulai juga dari sini.

 

12 
Pada akhirnya, untuk kepentingan komunikasi dan bercerita, saya mengambil nama Spiritualisme Kritis. Istilah ini pertama kali muncul dalam novel Bilangan Fu, melalui tokoh Parang Jati. Dalam kisah itu, ia menghadapi sikap dogmatis dari dua kubu. Kubu agama maupun kubu modernis-sekular (pemilik modal). Ia menganjurkan spiritualisme kritis sebagai jalan keluar dari dogmatisme kedua pihak.

Tetapi istilah ini, sebagai nama, mendapatkan inspirasinya dan strukturnya dari “romantisme kritis”—yang saya baca dari artikel Fabianus Heatubun di jurnal filsafat Melintas, Vo. 23 no.1 April 2007. Dalam tulisan saya berikutnya, Spiritualisme Kritis muncul beberapa kali. Mulai tahun 2014 saya malah membuat serial khusus Spiritualisme Kritis. Buku-buku yang saya tulis itu, karena sifatnya cerita dan bahkan hiburan, meskipun bukan selalu fiksi, tetap lebih membicarakan konsep ini dalam tataran praktis. Misalnya, Spiritualisme Kritis dirumuskan sebagai “sebuah keterbukaan pada yang spiritual tanpa mengkhianati nalar kritis”. Simple Miracles, buku pertama seri ini, mempartikularkan spirit sebagai arwah. Tapi, sesungguhnya, tema yang dibicarakan bisa lebih luas daripada hantu dan yang gaib. Buku-buku saya yang sebelumnya sesungguhnya juga telah membawa embrio gagasan ini—terutama Saman, sebelum Seri Bilangan Fu dan Pengakuan Eks Parasit Lajang yang secara eksplisit menyebut istilah ini.

Dalam kesempatan ini, saya menyoroti problem yang lebih mendasar daripada dogmatisme yang tampak di permukaan, maupun peneriman atau penolakan terhadap roh-roh. Yaitu, struktur bahasa, yang merupakan basis (jika bukan berasal dari struktur yang sama dengan) rasio, yang mengandung kekerasan yang niscaya, dan bersifat politis. Problem pengetahuan dan bahasa ini telah ditunjukan melalui sastra kuno Kisah Adam-Hawa dan Kisah Menara Babel, dengan model naratifnya yang misterius. Bagi saya, dogmatisme agama maupun rasionalisme hanya mengulangi struktur bahasa yang tidak menyadari kekerasannya sendiri. Kita memang tidak bisa melarikan diri dari kekerasan pengetahuan yang niscaya itu, seperti Adam dan Hawa tidak bisa kembali ke firdaus. Adam dan Hawa telah terjebak ke dunia penuh kekerasan—Adam mengusahakan tanah dengan susah payah, dan Hawa melahirkan dengan kesakitan. Politik yang bisa diambil adalah mengakuinya dan bersikap kritis-reflektif terhadap itu. Kita bisa membuat struktur bahasa menyadari kekerasannya.

 

13 
Erik bekerja dengan fotografi. Saya bekerja dengan narasi. Kami sama-sama melakukan kekerasan. Kami memilah-milah aliran dunia ke dalam keping atau unit yang bisa dikuasai, disusun ulang, dimanfaatkan. Foto, kata-kata. Mekanisme ini adalah keniscayaan medium kami. Kami tak melarikan diri darinya, tapi juga menyadari problemnya. Foto-fotonya adalah seperti puisi, yang mencoba menangkap makna sebelum konvensi. Sedangkan, buku-buku saya tidak demikian. Prosa, tak seperti puisi, harus mengintegrasikan linearitas dan rasionalitas. Seberapapun prosais mencoba membangkitkan pengalaman, misalnya lewat penghadiran puisi atau bahasa yang puitis, ia tetap menggunakan penjelasan. Tapi penjelasan, betapapun ia ringkih dan mencoba menutupi keringkihannya dengan dogma, tetap bisa mengantar kita pada kesadaran. Erik pun tidak merasa selesai hanya dengan foto. Ia membuat catatan di belakang foto-fotonya—seperti dalam serial kartu pos Jakarta. Ia membuat penjelasan juga. Setiap medium menciptakan keterbatasannya. Ia membutuhkan medium lain untuk menghadirkan yang lepas dari batasannya.

Puisi membutuhkan prosa. Prosa membutuhkan puisi. Estetika memerlukan banalitas dan sebaliknya. Begitu juga, spiritualitas memerlukan daya kritis dan daya kritis memerlukan kesediaan membuka diri. Saya mengambil risiko untuk mengatakan yang berikut ini: daya kritis menyerupai yang maskulin, dan spiritualitas menyerupai yang feminin. Keduanya saling melengkapi.

 

__________

 

Banal Aesthetics & Critical Spiritualism

From Banal Aesthetics & Critical Spiritualism: A Dialog of Photography and Literature in 13 Fragments, a presentation by Erik Prasetya and Ayu Utami, Galeri Salihara, Jakarta, 31 January 2015

 

2

In the beginning, God created the heavens and the earth; earth was formless and empty; darkness was over the surface of the seas and the Spirit of God hovered over the waters…
...then mists came up from the earth and watered the whole surface of the earth; it was then that the Lord God formed man from the dust and breathed life into his nostrils; and the man became a living being. 
(Genesis 1:1 & 2:6-7, NIV)

Every writer will quietly ask: what makes a literary work immortal?
There are two tales that haunts me so, stored within ancient tomes, Genesis and Ramayana. Both tell the tale of a man and a woman: Adam-Eve, Rama-Sita. Like ghosts, they inspire strange feelings. Feelings at odds with one another. Beauty and terror; awe and anger; truth, but also a feeling of injustice. And the most exhilarating of all: something about sex and violence enshrouded in dim divine light. They are tales whose simplest forms I have internalized since a very young age. They manifest themselves into ghosts, because they present something arousing and merciless at the same time. Like ghosts, they are deviant and disturbing.

At the start, a child who reads Ramayana will accept it as an adventure story of a pair of lovers journeying through a dangerous forest. Rama and Sita endure their exile in the forest of Dandaka; Laksmana, Rama’s younger brother, accompanies them. It fulfills all the requirements to make an amazing story: a handsome man and a beautiful woman, a third person, forest, golden deer, an army of monkeys, an adversary, and the giants. Tension rises and heightens: temptation, traps, kidnapping, war, and freedom—a structure that follows the Hollywood playbook… until, that is, the immolation of Sita. There, horror is weaved into the climax. Her own husband demands her to prove her purity by jumping into a roaring fire. Are there crueler demands from one’s own lover than that? It's strange that Ramayana can always inspire ideals about love.

The story of Adam and Eve does not offer something as cruel as Ramayana, but it proffers a difficult dilemma in the forbidden fruit. Genesis 2 also fulfills the requirements for riveting visuals: virgin streams and forests, fauna, a garden, the tree of life, the tree of knowledge, two naked human beings, a man and a woman, and lurking danger. It is never a love story. It will be more appropriate to call it a story that summarizes motifs of power, sex, and betrayal. We know: Eve—created from Adam’s rib—listens to the treacherous snake, plucks the forbidden fruit from the Tree of Knowledge. She gives it to Adam, and they eat the fruit together. Then, they realize what it means to be naked. And God curses them then throws them out of Eden, into a world full of suffering.

Both stories, Adam-Eve and Rama-Sita, go against morality and the sense of justice after the discovery of human rights and rationalism. However, there is one undeniable thing: both stories are intriguing. They have successfully cast a spell over humankind for at least three thousand years, and they continue to enchant even today. They are memorialized and reread. They are disassembled and reassembled, they never fade away. They never fail to inspire. There are moments when I would feel anger and hatred toward both stories. Especially as a woman. Yet, I continue to read them and continue to feel enamored. And I realize that I have come face to face with two ancient stories that have proved their reputation as immortal literary works. The question is: what is beauty that it compels us to forget injustice?

 


Best we postpone our question about beauty. I would like to return to a complicated story, that is, about humanity’s original “sin” : the eating of the forbidden fruit.
Indonesians tend to forget, or perhaps they don’t realize, that the forbidden fruit is that of the Tree of Knowledge. If I have never read the Bible for myself, relying instead on my religious teacher, then I would never realize:

You are free to eat from any tree in this garden; but you must not eat from the tree of the knowledge of good and evil… 
(Genesis 2: 16-17, NIV)

Although in the beginning many religious scholars would usually define ‘knowledge of good and evil’ as something to do with morals, some biblical scholars consider the expression “of the good and evil” as an idiom to represent all sorts of things. Not only in the moral sense. I am taking this wider interpretation. And it is precisely this part of Adam and Eve’s story that haunts me, not just as a woman but as a human being. Why can’t humans eat from the tree of knowledge? Why is knowledge considered to be human’s first “sin”? How can we account for such a text using rational thought that espouses scientific knowledge?

Yet, like a spectre, this strangeness is also its appeal. The untouchable is its enchantment. Ah, truly the tale of creation appeals to our subconscious because it tells the story of a man and a woman, naked in the middle of a forest (and we will inadvertently imagine them to be comely, and from here, are things that happen as we imagine them to be). It is also an appealing story because it contains the answer to our origins, a mysterious reality even today. After the text succeeds in drawing in our erotic desires and our deepest curiosity, it presents us with a problem. Even non-feminists, as long as they have common sense, will wonder: how strange, why can’t we eat the fruit from the tree of knowledge?

Even then, it is not the only complicated mystery within the Bible. Honest reason will also struggle to understand this next tale: The Tower of Babel, also found in the Book of Genesis. It is said that, the world used to have one language and one accent. One day, this society with one language decided to build a tower that would reach up to the heavens, so that they might find their own name so as not to be scattered across the world. But, God descended and laid waste to such a plan. Yet, what’s so bad about such a plan—especially when we look at it in reference to Sumpah Pemuda (Indonesia's Youth Oath) and the struggles of NKRI (The Unity State of Republic of Indonesia)? And, dear God, this was what God said:

“Come, let us go down and confuse their language so they will not understand each other.”
(Genesis 11: 7, NIV)

The first part of the Book of Genesis perhaps contains the most number of confusing tales. These tales are so strange that,  if we read them with a modern mind, we will discover an absurd, jealous, and insecure God. Well, there are times when He is gracious, but His graciousness does not take away from his insecurity. It seems that God does not want human beings to be like Him, to know things and to be united in one language. How odd, what kind of a God is that?

And yet, I cannot just throw away these stories. Part of my reasoning is that these stories have become interweaved with other texts, not only within the Bible but also outside of it. What we can call: intertextuality. Even today, they still inspire literature, philosophy, theology, art, photography. Bible scholars point out how these stories are related to myths of that period—only that the myths of Ancient Egypt, Sumeria, Babylonia, etc. have been abandoned, whereas the Book of Genesis continues to exist.

This is the most remarkable thing about immortalized literary works, like the Book of Genesis, despite offering morals that seem irrational: 1) Their supporters will maintain these stories even without fully comprehending their meaning; 2) Their supporters will continue to try and understand their meaning by making personal interpretations; 3) these stories address larger and more fundamental questions that agitate us as humans: How was the world created? Why is there suffering? Why are childbirths painful for human females (compared to animals)? What is so deviant about sex and nakedness? Why don’t humans share one language? These questions cannot be conclusively answered by science or philosophy, to this day. 4) These stories can be understood differently, and can be read within an internal or external relationship, synchronously or diachronically. And, 5) there is a power that allows all of these to happen.

I do not mean supernatural powers, but instead “art's enchantment”. We can try to understand an artwork’s aesthetic powers that allow it to persist for thousands of years. 
Here, I would like to underscore two great issues within these two complicated puzzles: knowledge and language. Genesis 2, the story of Adam and Eve, talks about the problem of knowledge. Genesis 11, on the Tower of Babel, talks about the problem of language. Let’s say they're from 1000 BC. In their future, three thousand years later, we will realize that the problem of knowledge is also the problem of language.

 


Photography uses camera. Literature uses language. With these tools, both try to know.
We consider the camera and its tools as technology. But language is also technology. I would also like to say that the problem that plagues photography also occurs in literature, although they are not exactly the same. Photography helps us to look concretely at the mechanisms that exist abstractly and internally within language. Language is technology in that it provides human beings with techniques and abilities to transfer individual-subjective memories and experiences into a collective deposit, allowing them to become something to be exchanged, developed, and utilized collectively. More impressively, these mechanisms are nothing but symbols. By breaking down streams of experience into semiotic units that can relatively be stabilized—what we later know as phonemes, morphemes or words, sentences, verses, with all their prosodies and rhythms to aid with memory—and by constructing them into a complex system of signs, people can, not only express their impulses, but also store these shared data in the “virtual world”. Before the discovery of scripts or alphabets, “the virtual world” was merely a collective memory sustained through poetry and stories, recited continuously. (Ramayana and tales from the Book of Genesis began as oral traditions). With alphabets, these deposits are physically stored onto epigraphs, palm leaves, papyrus, parchment, scrolls, codex, books, and finally—today—digitally, as well.

Both literature and photography break down the flow of reality into storable units. In this way, units can be controlled, used, reconstructed, developed. It is true that literature does not have the same ethical problems as photography. Because language will never truly copy reality. Yet, this is precisely language’s main problem. It can never truly discover reality. It remains firmly within the systems of signs, never to come into direct contact with reality. Photography steals, copies, and transcribes reality. Language builds its own model of reality, without being in direct contact with it. Modern linguists have long mapped the fact that there has never been any direct contact between a word and its reference. The things we know from language are merely fakes. Counterfeits of unattainable originals.

At the same time, language is the only technique and mode available to our reason. Language is the only way for our mind to know communicable things. Twentieh century philosophers, then, in their critique of modernity, stated how reason works precisely by separating the knowing subject from the known object.

The separation of subject from object, by our reason, is perhaps something that can bring us to the problem faced by a photographer who is aware of photography’s ethical problems. Photography works by making the world into its object. The way reason and language break down reality into units that can be stored, constructed and utilized reminds us of photography that freezes moments into units of images that can be stored for a long period of time, if not for life. In all of these mechanisms, there exists a kind of violence. Language, reason, and even photography retain violence. But there is a kind of sadness: it is inevitable. There is no way back to Eden. The cherubim stands guard over the only gate into the Garden of Eden, swinging his fiery sword.

Allow me to express my amazement of, and attempt to understand, the ancient narrative model. In ancient narratives, subject and object are often not so easily distinguished, if not impossible. For instance: it is difficult to differentiate between description and prescription, it is difficult to differentiate between cause and effect. An example of the second instance: doubt and ambiguity in the use of causal conjunctions sebab, sehingga, maka, agar, etc. (cause, until, then, so that, etc.) In this short opportunity, please pay attention to the words “sehingga” (so, until), and “agar” (in order to). The word “sehingga” does not contain intention of a deed (or not specifically imbued with intention), but the word “agar” (in order to) shows a causality that contains meaning intention. Compare the following two constructed sentences:

An angel stands guard over the gate with a fiery sword until humans cannot return to the Garden of Eden. 
An angel stands guard over the gate with fiery sword so that humans cannot return to the Garden of Even.

This sort of ambiguity can assume a higher form than words. It can develop on a level of discourse, fantasy, and personification. We can take, for instance, the personification of the character of God within the tale of Creation or of the Tower of Babel as a case study. I am interested in the hidden subject within a text, either in an old text or in current-day conversations and texts.

Actually, the story can be made quite long here, but I would like to shorten it to save time. Genesis 2 tells the story of the problem of knowledge, within a narrative model that is mythological and very ancient. Knowledge has taken human beings away from a pure and innocent unity. After eating the fruit from the Tree of Knowledge, human beings could no longer remain in the Garden of Eden. The story of the Tower of Babel (Genesis 11) is a story of the problem of language. Certainly, the personification of the God character in this story is vexing, but this is a story of how impossible it is to avoid misunderstandings. Human beings continue to fail in their attempts to unify language (Thankfully, the third pledge of Sumpah Pemuda Indonesia reads “to uphold the Language of Unity”, not “to speak one language”.) Historically, any time one language grows in stature, or expands to become global, that language will break down into dialects.

In this period, I read the Bible as a literary book. It is the most interesting literary book. Whoever wrote it—and there were hundreds if not thousands of people, if we consider those who worked to copy the Bible down through a thousand or two thousand years—they prefaced the Bible with a warning. You know that the whole book uses language—just like the whole of our scientific knowledge. Now, remember. The first warning: there is a problem of knowledge. The second warning: there is a problem of language. So whatever we can know from this book, there are latent problems lurking behind it. If we extend this outside of the book, the same formulation applies generally: whatever we can know through reason and language, there will be problems lurking behind it.

From the Bible, I have discovered the basis of my literary identity. Not a bad model, especially considering that the very first book of the Bible already contains a reminder of these problems of knowledge and language, something I wish to underline here. My struggles with reading, writing, and using language have taken me to understand the fragility and instability of language, as the basis of our knowledge.

If in Banal Aesthetics, the photographer seeks an approach that will allow him to remember the problems of photography, then I have adopted the name “Spiritualisme Kritis”, Critical Spiritualism, for a model of authorship—as well as a model for my creative/writing process, even a model for a more general attitude—a model that is aware of language’s fragility, but also one that continues to work to achieve meaning. Why is there a correlation between language and spirituality? Language correlates with spirituality and religiosity in such a way, because language depends on “faith”, belief and acceptance, of its own concepts to allow it to function. We can only talk if we believe that the word “human” does mean human and not other things; even though there isn’t any substantial or essential relationship between the word “human” and the concept it describes. We can only speak/converse with one another if we all believe that “yes” means yes, and “no” means no. Without faith in words, without faithfulness to grammar, we cannot use language. A true skeptic is a mute one because he or she cannot trust a word. Therefore, the basis of our knowledge is actually a kind of faith as well. (And how fragile it actually is.) We see the same structure at work in religion and language. And in facing these structures, we need critical spirituality, that may become more apparent in the next section of this text.

 


In observing and using language, I have become aware that the next fundamental problem is the struggle for meaning. The way the story of creation in the Book of Genesis is interpreted, rejected, reinterpreted shows this struggle. As per Saussure, language is arbitrary and dependent upon convention. Therefore, whether we like it or not, we are entering the realm of politics. People can practice politics with awareness or otherwise.

Every user of language plays a role in sustaining or dulling a convention. This convention can be about sound, word, structure, or even discourse. Every time we choose to use a particular word, expression, method, or story, we are—consciously or otherwise—engaging in politics. We can see how linguistic politics work, for instance, on the level of words, in the use of a word or its substitutes, for instance: wanita-perempuan (woman-female), WTS-PSK (prostitute-sex worker), cina-china (somewhat similar to niggers-blacks), jilbab-hijabteroris-mujahid (terrorist-faith warriors), etc. Linguistic politics on the level of vocabulary is usually directly connected to the contents of ideology.

The struggle for truth can also occur on a grammatical level. On this level, choices are usually not influenced by ideology, but an attitude toward rules. Here, there is a sort of apathy on one extreme, and a dogmatic attitude on the other extreme. We can find a model of debate in mempunyai-memunyai, mempesona-memesona, emosi-emosional, merubah-mengubah, pemerkosaan-perkosaan, Sumatra-Sumatera. Linguists and language users continue to argue over the most correct rule.

Once again, we can recognize the analogy between linguistic attitudes and religious attitudes. People can maintain prejudice when they use language, as when they practice religion. People can act dogmatically when they practice their religion, as when they use language. Actually, an explanation on this regard can be further expanded, but I will keep it short, and hurry to a conclusion.

There are characteristics of a dogmatic attitude that are applicable in both religion and language. Dogma prefers rules and laws to inspiration or research. Research takes time, but time does not exist for dogma because dogma resides out of time. When dogma is formulated as law, then people need only to follow it. This is applicable in religion and language.

An example in language: People often believe that we just need to follow the rules. In language, there are rules for sentences and even words. With words there are divisions of nouns, verbs, adjectives, adverbs, conjunctions, etc. We only need to follow the rules laid out in front of us. Yet, this is an ironic attitude to have. If we learn linguistic history, then we will find that these rules actually came later, they were realized and formulated gradually (over hundreds of years!), and even during those times, people could still communicate without knowing anything about grammar. Odysseus was composed before Aristotle was born, or before he wrote about logic and rhetoric. Poems and prose did not wait for a grammar system to arrive. A grammar system actually emerged as an expression of natural practice. If the rule is good, then it will help people achieve higher or more complex understandings. However, nowadays, the opposite occurs among editors and keepers of language: the complex are reduced into simplistic laws. (And yet, here, interestingly, we are once again trapped in the close relationship between description and prescription—something unique to ancient narrative models).

Within dogmatism, meaning already exists within the realm of idea, we only need to apply it. In dogmatism, meaning is not sought and fought for in the realm of human experience and reality.

 

10

In a conversation as we drive past the front of the Vice President’s official residence on Jalan Diponegoro, I formulated Erik’s photographs as: capturing meaning before convention. Like what is being done by poetry. Or contemporary music. Their meanings actually exist before convention or standardization. Or in a less speculative formulation: meanings may exist outside of convention or standardization. Art can provide it. Certainly “meaning before convention” is not always so easily understandable. It is not too clear, often unstable or ambiguous, never providing any rules for life.

Let me make a quick jump once again, as there is not enough time to explain everything.

A person’s failure to communicate with poetry is oftentimes a person’s failure to communicate with “spirit”. What I mean by “spirit” is not what children would often imagine when reading the Bible about the Holy Spirit and evil spirit, or what we imagine when listening to ghost stories. I am referring to something whose boundaries we cannot sufficiently recognize, either objectively or intersubjectively. Things that don't have clearly recognizable boundaries cannot be treated with a logical process. It cannot be used to draw syllogism, inferences, inductions, deductions, etc., because it does not fulfill the requirements for a proper term.

We know, that for logic to work, terms are needed. The requirements for these terms have clear boundaries. Logical mechanisms or processes cannot work on terms that are not closed, or that have double meaning, or are ambiguous. Here, the first violence occurs. (As referred to in the beginning, in Section 6, that language and reason contains a kind of violence.) To allow itself to work, reason forces boundaries, which is enforced by convention. Boundaries mean getting rid of “the other”, “the not”, and “those not of this”, making them into things that exist out of convention. These mechanisms of violence are so very naturally occurring that we no longer consider them as violence. We demand the clarity of truth. Rationalists demand that everything must be explained. Religious groups declare that all things have been explained by their holy book. Both groups essentially share the same view on fundamental violence.

Art reminds (or, art can remind) us to return to “meaning before convention”. Here, I wish to call it “spirit”. The term “Spiritualisme Kritis”, Critical Spiritualism, can begin here too. 

 

12

In the end, for the sake of communication and storytelling, I have adopted the name Critical Spiritualism. This term was first introduced in the novel Bilangan Fu, through the character Parang Jati. In that story, he confronts the dogmatic attitudes of two groups. The religious group and the modernist-secular group (capital-owners). He prescribes critical spiritualism as a way out of both groups’ dogmatism.

However, this term, as a name, received its inspiration and structure from “critical romanticism”—that I read in Fabianus Heatubun’s article in Journal on philosophy Melintas, vol. 23 no.1, April 2007. In my subsequent texts, Critical Spiritualism will appear a few more times. Starting in 2014, I have even begun a special series on Critical Spiritualism. The books which I write will keep the discussion of this concept stays in the practical level, because, fiction or non fiction, they have to be narrative and even entertaining. For instance, Critical Spiritualism is formulated as “an openness to the spiritual without betraying critical rational thought”. Simple Miracles, the first book of the series, particularized spirit as soul. However, in actuality, the theme in question is wider than just about ghosts or the supernatural. My previous books actually contain the embryos of this idea—especially Saman, prior to Bilangan Fu series and Pengakuan Eks Parasit Lajang that explicitly state the term.

Here, I would like to highlight a more fundamental problem than superficial dogmatism, or merely the acceptance or rejection of spirits. I am talking about the structure of languages, that acts as the basis of (if not created from the same structure as) reason, that contains a natural sort of violence, and is political in nature. The problem of knowledge and language is shown through the ancient texts of Adam-Eve and the Tower of Babel with their mysterious narrative model. For me, the dogmatism of religion or rationalism is only a repetition of a linguistic structure oblivious to its own violence. We cannot run away from this natural violence of knowledge, much like Adam and Eve’s inability to return to the Garden of Eden. Adam and Eve are trapped in a world filled with violence—Adam toiled the land, and Eve gave birth with much pain. The political act that can be derived from this story is to admit it and then be critically-reflective of it. We can make linguistic structures realize their own violence. 

 

13 
Erik works with photography. I work with narration. Both of us conduct violence. We break down the flow of the world into fragments or units that can be controlled, reconstructed, utilized. Photographs, words. These mechanisms are the natural consequence of our chosen medium. We are not running away from them, but we also recognize their problems. Photographs are like poetry, in their attempt to capture meaning before convention. Meanwhile, my books are not. Prose, unlike poetry, must integrate linearity and rationality. However hard a prose writer tries to evoke experience, through the inclusion of either poetry or poetic language, the writer still uses explanations. But an explanation, however fragile and however hard it tries to cover up its fragility through dogma, can still lead us to a certain awareness. In the same way, Erik doesn’t feel that his work ends with a photograph. He makes notes at the back of each photo—like in the Jakarta postcard series. He also creates explanations. Each medium creates its own limitations. It requires other medium(media) to present what escapes its limit.

Poetry needs prose. Prose needs poetry. Aesthetics needs banality and vice versa. In the same way, spirituality requires a critical ability, and critical ability requires a person to be prepared to open up. I am taking a risk to say this: a critical ability resembles the masculine, and spirituality resembles the feminine, and both must complete each other.

 

Translated by Henny Roland

 

pictures by Suci Mayang